Monday, April 23, 2007

2 KELOMPOK FENOMENAL SEMARANG MAIN DI SOLO

Dua grup kesenian dengan pendekatan estetik dan artistik yang sangat berbeda akan tampil di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta, untuk menggenapi Program Apresiasi Seni Pertunjukan yang diprakarsai Komunitas TBS bekerjasama dengan Teater Utan Kayu dan Ford Foundation.

Bertempat di Gedung Teater Arena TBJT Jl. Ir. Sutami 57, Sanggar Seni Paramesthi akan menggelar Reportoar Wayang Dongeng mereka Kamis, 30 Januari 2003 sejak pukul 20.00 WIB. Berikutnya Jumat, 31 Januari 2003 ditempat yang sama Gender ½ Tiang akan menggelar reportoar teater bertajuk “Arok” selama 60 menit dari pukul 20.00 WIB.

Untuk melengkapi program istimewa itu Komunitas TBS secara khusus juga mengundang Triyanto Triwikromo (pengamat seni pertunjukan, wartawan budaya, Semarang) & Drs. Hanindawan (sutradara, penulis naskah lakon, Solo) guna mempresentasikan hasil amatan mereka atas proses kreatif 2 grup tersebut, 31 Januari 2003 pukul 21.00 WIB.

koordinator,

Sosiawan Leak

TENTANG WAYANG DONGENG

gambaran pertunjukan
di halaman sebuah rumah sederhana, di sebuah perkampungan kecil, di kota semarang. berkumpul banyak orang. ada anak kecil, remaja, dan orang dewasa. mereka membentuk sebuah lingkaran besar.di tengah lingkaran itu ada beberapa orang yang sedang bermain. sekelompok orang dengan memegang berbagai alat bunyi sederhana duduk agak menepi dari lingkaran itu. mereka memainkan bunyi-bunyian sambil ketawa-ketiwi. bahkan ada yang berdiri beserta alat bunyi yang dipegangnya, dan sambil menabuh alat itu ia menari-nari. bunyi yang mereka timbulkan kadang-kadang terasa tidak harmony. bahkan beberapa orang yang ternyata bertugas sebagai penyanyi, mennyanyikan lagu yang kadang-kadang tidak pas di iramanya, namun mereka terus saja melakukannya dengan gembira. sementara seorang pemain lagi berlari kesana kemari di lingkaran, bahkan dia juga keluar dari lingkaran itu. seorang yang berjalan kesana kemari itu memegang sebuah benda yang menyerupai wayang, seperti yang tertancap di sekitar lingkaran orang berkumpul untuk menonton permainan itu. sementara di jalan orang tetap saja lalu lalang.ada yang sengaja berhenti, kemudian bergabung dengan lingkaran besar itu, ada yang hanya sekedar menoleh kemudian melanjutkan perjalanan. mereka bebas keluar masuk halaman rumah sederhana itu. tiba-tiba seseorang yang memegang wayang, berlari ke jalan, ternyata ia menemui seorang perempuan tua yang sedang menggendong seorang anak kecil. di berikannya sebuah wayang yang dipegang dan diajaknya nenek itu masuk dalam lingkaran besar itu. terjadilah dialog antara nenek dan seorang pemain yang tadi memberinya wayang.dari dalam kumpulan orang-orang yang melingkar itu sering terdengar celetukan, menimpali dialog tadi.
begitulah permainan itu terus berlangsung dengan kegembiraan. dan jalan di depan rumah itu tetap saja sibuk dengan aktivitasnya.

judul pementasan
“Macan Gareng”

crew

Pimpro : Yoyok Trotoary
Ide cerita : Sendang Mulyana
Dalang : Trontong Sadewa
Asisten Dalang : Dedy Irawan
Penata Laku : Daniel Hakiki
Penata Musik : Widodo & Dwi
Artistik : Bowo Kajangan
Wiyaga : Yoyok Trotoary, Prie, Sendang Mulyana, Wawan, Gun Bledug, Kasidi, Widodo, Dwi, Paminto,
Sinden : Ibu Kumijantara

sinopsis
Seekor anak kucing sedang menderita. Tiga hari yg lalu ia baru lahir, tapi oleh manusia ia dibuang di tempat pembuangan sampah. Terlunta-lunta ia mengais sampah demi hidup. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, datanglah seekor Anjing yang sangat dendeam dengan bangsa kucing. Spontan si anak kucing dianiaya hingga pada puncaknya kucing ditendang dengan keras sekali hingga terlempar jauh. Dasar apes, si anak kucing tsb menjatuhi macan Gembong yang lagi sedih memikirkan tiga anaknya yang hilang dicuri oleh manusia. Macan Gembong marah tetapi begitu melihat si anak kucing terluka parah, timbul belas kasihannya lalu si anak kucing diambil sebagai anak angkat raja hutan itu.

Dipeliharalah si anak kucing hingga besar; entah apa karena salah didik, si kucing menjadi sombong. Ia ingin dihormati oleh semua binatang, tetapi sebaliknya ia bertindak semena-mena thd binatang lain. Dari sinilah permasalahan muncul.

TENTANG GENDER ½ TIANG

profil gender ½ tiang
gender ½ tiang -komunitas yang akan mementaskan naskah arok ini- adalah nama yang spontan muncul dari sebuah obrolan ringan, berisikan seniman-seniman muda independent, dan mencoba memberikan alternatif lain kepada kehidupan teater di semarang.

Nama kemudian tidak menjadi sesuatu yang sakral selain menjadi sebutan formal belaka. Bukan pula sebuah ideologi atau ritual pemujaan.

Dedikasi pada karya ditempatkan dalam posisi tertinggi, ketimbang melulu membangun loyalitas kosong kepada sebuah lembaga.

judul pertunjukan
“Arok”

crew
naskah: benny benke, sutradara: benny benke
asisten sutradara: widyo babahe leksono
arok: onny, erwin temis, ametung: hery sgr, sony emka
dedes: ely kuswati, desy jeruk
tata artistik: adjie noegraha, bowo kajangan
tata lampu: alfi, abbas efendi, ari bubut
penata musik: wisnu bende, kostum: putri ayu, nita agustin, dokumentasi: janu kartika
publikasi: adhiet kaliksanan, fury, jay gema
produksi: gender ½ tiang
pimpro:ganug gurit geni
asisten pimpro: gendhut sofyan

sinopsis
naskah arok karya benny benke mencoba memberikan alternatif pemaknaan lain seputar kemelut kerajaan Singosari. Mencoba keluar jauh dari teks yang selama ini di-amini dan memberikan penekanan kepada pertikaian antara tiga tokoh utama : ken arok, ken dedes, dan tunggul ametung: tentang cinta, kebencian, nilai-nilai, sampai kepada hakekat manusia. Melampaui permasalahan hitam-putih, atau benar-salah sebuah penafsiran sejarah, tafsir benny terhadap satu teks sejarah ini, menjadi penting ketika apa yang ditawarkannya menjadi jalan lain untuk lebih menyikapi sejarah, bahkan mungkin menjadi cermin realitas ke-kini-an.

No comments: