Melongok Ritual Merti Bumi di Desa Jatirejo, Kecamatan Karanganyar, Demak
Rangkul Siswa untuk Tanam Pohon dan Angkat Nasib Petani
Masyarakat Desa Jatirejo, Kecamatan Karanganyar, Demak, kemarin menggelar ritual merti bumi. Prosesi tradisi ini melengkapi tradisi lainnya seperti sedekah laut dan desa yang biasa dilakukan oleh warga di wilayah pesisir utara Jawa. Namun, merti bumi sarat akan kritik sosial dan pesan untuk peduli lingkungan.
WAHIB PRIBADI, DEMAK
---
Tradisi merti bumi sendiri sebenarnya sudah cukup lama hilang di peredaran. Maklum, biasanya tradisi ini hanya diwarnai ritual doa. Namun, kemarin, pelaksanaannya juga dikemas dalam bentuk performance art berisi muatan pesan dan kritik sosial. Rusaknya lingkungan di bumi serta nasib petani yang kian terpuruk menjadi fokus pergelaran merti bumi kali ini.
Acara yang berlangsung sekitar pukul 10.00 itu digelar di lapangan bekas persawahan milik warga Desa Jatirejo. Digagas oleh sejumlah mahasiswa IKIP PGRI Semarang dengan Komunitas Seni Pak Jenthit Lololobah, prosesi merti bumi dipimpin oleh art performer dari Semarang Bowo Kajangan.
Sebelum prosesi merti bumi dimulai, lapangan bekas sawah tersebut ditanami sejumlah patung orang-orangan yang terbuat dari jerami padi atau yang disebut manusia jerami. Patung manusia jerami ini selama ini dipakai sebagai memedi sawah untuk menakut-takuti burung pemakan padi.
Namun, dalam konteks prosesi seni kali ini, jerami memiliki makna filosofis yang lebih mendalam. Yakni, sebagai penjelmaan sifat kejahatan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perspektif seni, saat ini manusia yang hidup di era modern rata-rata secara aqliyyah termasuk pintar, cerdas dan mumpuni. Namun, sayang sudah banyak yang tidak bermoral, keblinger dan suka membuat kerusakan di muka bumi.
Fakta menyebutkan banyak tangan-tangan jahil dengan seenaknya menebang pohon. Aksi perusakan itu tidak diimbangi dengan penanaman pohon kembali (reboisasi) dan telah menyebabkan alam sekitar rusak berat. Kerusakan lingkungan yang sangat parah itu, menyebabkan manusia, utamanya di Indonesia, harus menuai aneka macam musibah alam.
"Sesungguhnya, alam tidak pernah memberikan bencana. Ia hanya mencari keseimbangan belaka. Karena itu, jangan salahkan alam. Salahkanlah manusia," terang Bowo.
"Aksi keprihatinan" dalam merti bumi kemarin juga melibatkan anak-anak sekolahan di Desa Jatirejo. Mereka menempati posnya dengan berlindung di balik memedi jerami tersebut. Setelah itu, Bowo Kajangan sebagai pemimpin ritual hadir di tengah-tengah manusia jerami, tepatnya di bawah manusia jerami yang ukurannya paling besar.
Selain dilengkapi dengan jas hujan, jerami besar itu juga dilengkapi dengan caping milik petani. Di tempat itulah Bowo memulai aksi teatrikalnya yang dibalut dengan prosesi ritual.
Tampilan Bowo sendiri cukup nyentrik khas orang seni. Mengenakan sarung kotak-kotak merah yang dibalutkan ke badannya, rambutnya yang panjang tampak ditata sedemikian rupa. Rambutnya tersebut digunakan untuk mengikat bibit pohon jati yang diletakkan di atas kepalanya. Sembari duduk bersila, mulut Bowo berkomat-kamit mengucapkan doa-doa memohon kepada Yang Maha Kuasa agar memberikan keselamatan bagi umat manusia telah merusak lingkungan. Di depan Bowo bersila terdapat jajan pasar, seperti pisang, ketela pohong, kacang-kacangan dan tanaman lainnya.
Doa-doa Bowo lantas diamini oleh anak-anak yang ikut "dolanan" bersamanya dalam merti bumi tersebut. "Le sak iki kuwi akeh menungso sing rusak di lingkungan. Namung, ora gelem nandur maneh wit-witan. Mongko soko iku le, sak wise wit jati iki ditandur, rawato wit kuwi (Hai, anak-anak. Saat ini banyak manusia yang suka merusak lingkungan. Namun, mereka tidak mau menanam kembali pohon-pohon itu. Maka dari itu, setelah pohon jati ini ditanam, maka rawatlah pohon itu)," pesan Bowo kepada anak-anak.
Tak hanya itu, setelah berdoa bersama, Bowo dan anak-anak lantas berdiri. Dengan membawa wadah tempat air "suci" yang diambil dari tujuh mata air. Yaitu, mata air Gunung Muria, Kadilangu, masjid Agung Demak, gunung Ungaran, api abadi Mrapen, hutan Blora dan Bledug Kuwu Grobogan.
Air tujuh sumber tersebut disiramkan ke bibit pohon jati yang diikatkan di patung manusia jerami. Setelah itu, patung manusia jerami yang terdapat bibit pohon jati tersebut dicabut dari atas tanah untuk dibawa secara beriring-iringan untuk ditanam. Pohon jati plus manusia jerami ditanam di tepi saluran air yang memanjang di Desa Jatirejo. Anak-anak yang mengikuti ritual tampak senang. Sebab, selain diberi pengetahuan soal lingkungan, mereka juga diajarkan teknik teatrikal merti bumi.
"Anak-anak ini masih lugu dan memiliki sikap jujur. Generasi anak-anak inilah yang nanti akan merawat pohon-pohon yang telah ditanam. Sejak dini mereka kita berikan bagaimana merawat lingkungan," ungkap Bowo.
Dikatakan, kerusakan lingkungan di dunia, termasuk di Indonesia saat ini makin mengkhawatirkan. "Coba lihat, kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Coba lihat kasus penebangan hutan di wilayah kita. Maraknya bencana puting beliung salah satunya akibat ulah manusia yang secara kejam membabat hutan seenaknya," tuturnya.
Selain untuk menyongsong hari Bumi pada akhir April mendatang, aksi merti bumi ini juga menjadi media bagi petani yang nasibnya kini terus terpuruk. Bowo menjelaskan, hasil jerami padi saat ini dinilai lebih besar daripada harga beras. Nasib petani yang setiap hari bergelut dengan beras dan jerami justru lebih buruk dibanding si pembeli beras itu sendiri.
"Jadi, kita merasa prihatin dengan kondisi ini. Makanya manusia jerami sebagai media merti bumi juga menjadi ajang pesan kritik sosial. Sebab, ibaratnya petani saat ini banyak mendapatkan jeraminya daripada berasnya. Bayangkan, saat panen harga padi sangat murah," terangnya. Hal senada diungkapkan oleh Kepala Desa Jatirejo Budi Utomo. Menurutnya, saat ini harga padi kering panen di tingkat petani sangat anjlok. Yakni, dari Rp 2.400 per kilogram menjadi Rp 1.600 per kilogramnya.
"Jadi, tradisi merti bumi yang kita gelar bersama mahasiswa ini sekaligus sebagai protes atas rendahnya harga gabah yang kini tidak laku lagi. Kami berharap pemerintah menaikkan harga gabah dan beras serta menyetop impor beras. Impor beras benar-benar mematikan usaha petani lokal," ujarnya.
Monday, April 23, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
lik, aku ngelink blogmu ya!
Post a Comment